Wednesday, 3 November 2010

Gempa Bumi

Mengapa di Indonesia sering terjadi gempabumi?
Indonesia secara geologis terletak pada pertemuan tiga lempeng litosfer yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Indoaustralia. Tataan geologis ini memiliki pengaruh yang menguntungkan maupun merugikan bagi Indonesia. Pengaruh menguntungkan antara lain di bumi Indonesia kaya akan sumber bahan tambang, memiliki tanah yang subur, serta pesona alam yang indah. Sedangkan pengaruh yang merugikan, wilayah Indonesia memiliki ancaman bahaya gempabumi.

Bagaimana terjadinya gempabumi?
Gempabumi adalah gerakan atau gerakan pada kerak bumi sebagai akibat aktifitas tektonisme, vulkanisme atau runtuhan bagian bumi secara lokal. Berdasarkan penyebabnya, gempabumi dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu gempabumi tektonik, gempabumi vulkanik, dan gempabumi runtuhan. Gempabumi tektonik terjadi karena persinggungan lempeng-lempeng litosfer, gempabumi vulkanik terjadi karena adanya aktifitas gunungapi. Sedangkan gempabumi runtuhan terjadi karena runtuhnya atap gua. Permukaan bumi kita ini terbagi atas lempeng-lempeng litosfer. Tiga di antaranya sudah kita temukan diatas, yaitu lempeng Indoaustralia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Lempeng-lempeng tersebut bebas bergerak secara perlahan di atas lapisan astenosfer yaitu lapisan selubung atas bumi yang lebih panas dan lunak yang dapat mengalir seperti pasta kental. Gerakan lempeng-lempeng litosfer ada yang saling menjauh, saling bertumbukan dan saling berpapasan mendatar. Ketiga jenis gerakan tersebut dapat menimbulkan tekanan, tarikan, dan gesekan. Pada saat batas kelenturan batuan terlampaui, maka akan terjadi patahan kulit bumi yang disertai lepasnya energi secara tiba-tiba. Peristiwa tersebut menimbulkan gempabumi.

Daerah manakah di Indonesia yang rawan gempabumi?
Pada dasarnya sebaran gempabumi terdapat di hamper seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Tersebar dari Nanggroe Aceh Darussalm hiingga Papua. Hanya di pulau Kalimantan sumber gempabumi tidak itemukan, karena relatif jauh dari pertemuan lempeng-lempeng litosfer.
Sumber gempabumi dapat dijumpai di darat dan di bawah dasar laut. Jalur gempabumi akibat patahan di darat terletak sajajar dengan jalur gempabumi di dasar laut. Jalur gempabumi di darat melalui Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Bali, Kepulauan Nusa Tenggara, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Pulau Papua. Sedangkan jalur gempabumi di dasar laut terletak di sebelah barat Pulau Sumatera, selatan Pulau jawa, selatan Pulau Bali dan Nusa Tenggara, selatan Kepulauan Maluku, dan sebelah utara Pulau Papua.
Provinsi yang rawan bencana gempa bumi di Indonesia antara lain :
  • Nanggroe Aceh Darussalam
  • Sumatera Utara
  • Sumatera Barat
  • Bengkulu
  • Lampung
  • Banten
  • Jawa Barat
  • Jawa Tengah
  • D.I. Yogyakarta
  • Jawa Timur
  • Bali
  • Nusa Tenggara Barat
  • Nusa Tenggra Timur
  • Sulawesi Utara
  • Gorontalo
  • Sulawesi Tengah
  • Sulawesi Tenggara
  • Maluku
  • Maluku Utara
  • Papua
  • Papua Barat
  • Papua Tengah
Gempabumi di Nanggroe Aceh Darussalam berkekuatan 9 pada skala richter, apa artinya?Kekuatan gempabumi dapat bervariasi dari sangat kecil yang tidak dapat kita rasakan sampai dengan skala besar yang merusak. Kekuatan gempabumi tersebut dicatat dengan alat pencatat gempabumi yang disebut seismograf. Sebuah seismograf terdiri dari ua bagian utama yaitu sensor atau seismometer dan alat perekam gempa. Hasil catatab seismograf isebut seismogram. Hasil seismograf dapat digunakan untuk menghitung kekuatan gempabumi, menentukan pusat gempa yaitu episenter dan hiposenter.
Ukuran kekuatan gempabumi yang sudah dikenal secara umum dinyatakan dalam skala Ricther, diperkenalkan oleh Charles F. Richter pada tahun 1934. Perhitungannya didasarkan pada amplitude terbesar gelombang gempabumi yang tercatat pada seismogram. Skala Richter inyatakan dalam basis bilangan logaritma. Oleh karena itu, satu tahap kenaikan dalam skal Richter berarti peningkatan gempabumi sepuluh kali lipat. Sebagai contoh, gempabumi dengan kekuatan 9 pada skala Richter mempunyai kekuatan sepuluh kali lebih kuat dibandingkan dengan gempabumi yang berkekuatan 8 skala Richter.

Tabel Kekuatan gempabumi dalam skala Richter :
Penamaan
Skala Richter
Dampak Gempabumi
Jumlah Kejadian
Mikro
< 2,0
Gempabumi mikro, tak terasa
8.000 per hari
Sangat Minor
2,0 – 2,9
Umumnya tak terasa, tapi tercatat oleh peralatan
1.000 per hari
Minor
3,0 – 3,9
Umumnya terasa, jarang mengakibatkan kerusakan
49.000 per tahun
Lemah
4,0 – 4,9
Teramati di dalam rumah, ada suara berderik, tidak ada kerusakan
6.200 per tahun
Sedang
5,0 – 5,9
Kerusakan pada bangunan dengan konstruksi buruk pada daerah yang tidak luas. Bangunan dengan konstruksi baik, rusak sedikit
800 per tahun
Kuat
6,0 – 6,9
Dapat mengakibatkan kerusakan pada daerah padat penduduk sepanjang 150 km²
120 per tahun
Sangat Kuat
7,0 – 7,9
Kerusakan pada daerah lebih dari 150 km
18 per tahun
Besar
8,0 – 8,9
Kerusakan pada daerah lebih dari beberapa ratus km
1 per tahun
Besar dan Langka
> 9,0

1 per 20 tahun
(Sumber:  United States Geological Survey, 2005)


Tabel Kesetaraan kekuatan gempabumi dengan kekuatan sejumlah bahan peledak :
Skala Ricther
Setara dengan berat bahan peledak
Contoh
- 1,5
3 kg
Granat
1,0
15 kg
Ledakan pada konstruksi
1,5
160 kg
Bom konvensional Perang Dunia II
2,0
1 ton
Bom konvensional Perang Dunia II
2,5
4,6 ton
Bom rakitan Perang Dunia II
3,0
29 ton
Ledakan MOAB, tahun 2003
3,5
73 ton
Kecelakaan Chelyabinsk, 1957
4,0
1 kiloton
Bom atom kecil
4,5
5 kiloton
Rata-rata Tornado (energi total)
5,0
32 kiloton
Bom Nagasaki
5,5
80 kiloton
Gempabumi Little Skull, Amerika Serikat, 1992
6,0
1 megaton
Gempabumi Double Spring Flat, Amerika Serikat, 1994
6,5
5 megaton
Gempabumi Northridge, 1994
7,0
32 megaton
Senjata termonuklir terbesar
7,5
160 megaton
Gempabumi Landers, Amerika Serikat, 1992
8,0
1 gigaton
Gempabumi San Francisco, Amerika serikat, 1906
8,5
5 gigaton
Gempabumi Anchorage, Amerika Serikat, 1964
9,0
32 gigaton
Gempabumi Nanggroe Aceh Darissalam-Sumut, Indonesia, 2004
(Sumber: United States Geological Survey, 2005)

Monday, 25 October 2010

Desa Wisata

Desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. (Nuryanti, Wiendu. 1993. Concept, Perspective and Challenges, makalah bagian dari Laporan Konferensi Internasional mengenai Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 2-3)
Terdapat dua konsep yang utama dalam komponen desa wisata:
Akomodasi: sebagian dari tempat tinggal para penduduk setempat dan atau unit-unit yang berkembang atas konsep tempat tinggal penduduk.
Atraksi: seluruh kehidupan keseharian penduduk setempat beserta setting fisik lokasi desa yang memungkinkan berintegrasinya wisatawan sebagai partisipasi aktif seperti: kursus tari, bahasa dan lain-lain yang spesifik.
Sedangkan Edward Inskeep, dalam Tourism Planning An Integrated and Sustainable Development Approach, hal. 166 memberikan definisi:
Village Tourism, where small groups of tourist stay in or near traditional, often remote villages and learn about village life and the local environment.
“ Wisata pedesaan dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam atau dekat dengan suasana tradisional, sering di desa-desa yang terpencil dan belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat”.

Pendekatan Pengembangan Desa Wisata
Pengembangan dari desa wisata harus direncanakan secara hati-hati agar dampak yang timbul dapat dikontrol. Berdasar dari penelitian dan studi-studi dari UNDP/WTO dan beberapa konsultan Indonesia, dicapai dua pendekatan dalam menyusun rangka kerja/konsep kerja dari pengembangan sebuah desa menjadi desa wisata.
Pendekatan Pasar untuk Pengembangan Desa Wisata
Interaksi tidak langsung
Model pengembangan didekati dengan cara bahwa desa mendapat manfaat tanpa interaksi langsung dengan wisatawan. Bentuk kegiatan yang terjadi semisal : penulisan buku-buku tentang desa yang berkembang, kehidupan desa, arsitektur tradisional, latar belakang sejarah, pembuatan kartu pos dan sebagainya.
Interaksi setengah langsung
Bentuk-bentuk one day trip yang dilakukan oleh wisatawan, kegiatan-kegiatan meliputi makan dan berkegiatan bersama penduduk dan kemudian wisatawan dapat kembali ke tempat akomodasinya. Prinsip model tipe ini adalah bahwa wisatawan hanya singgah dan tidak tinggal bersama dengan penduduk.
Interaksi Langsung
Wisatawan dimungkinkan untuk tinggal/bermalam dalam akomodasi yang dimiliki oleh desa tersebut. Dampak yang terjadi dapat dikontrol dengan berbagai pertimbangan yaitu daya dukung dan potensi masyarakat setempat. Alternatif lain dari model ini adalah penggabungan dari model pertama dan kedua. (UNDP and WTO. 1981. Tourism Development Plan for Nusa Tenggara, Indonesia. Madrid: World Tourism Organization. Hal. 69)

Kriteria Desa Wisata
Pada pendekatan ini diperlukan beberapa kriteria yaitu:
  • Atraksi wisata; yaitu semua yang mencakup alam, budaya dan hasil ciptaan manusia. Atraksi yang dipilih adalah yang paling menarik dan atraktif di desa.
  • Jarak Tempuh; adalah jarak tempuh dari kawasan wisata terutama tempat tinggal wisatawan dan juga jarak tempuh dari ibukota provinsi dan jarak dari ibukota kabupaten.
  • Besaran Desa; menyangkut masalah-masalah jumlah rumah, jumlah penduduk, karakteristik dan luas wilayah desa. Kriteria ini berkaitan dengan daya dukung kepariwisataan pada suatu desa.
  • Sistem Kepercayaan dan kemasyarakatan; merupakan aspek penting mengingat adanya aturan-aturan yang khusus pada komunitas sebuah desa. Perlu dipertimbangkan adalah agama yang menjadi mayoritas dan sistem kemasyarakatan yang ada.
  • Ketersediaan infrastruktur; meliputi fasilitas dan pelayanan transportasi, fasilitas listrik, air bersih, drainase, telepon dan sebagainya.
Masing-masing kriteria digunakan untuk melihat karakteristik utama suatu desa untuk kemudian menetukan apakah suatu desa akan menjadi desa dengan tipe berhenti sejenak, tipe one day trip atau tipe tinggal inap.

Pendekatan Fisik Pengembangan Desa Wisata
Pendekatan ini merupakan solusi yang umum dalam mengembangkan sebuah desa melalui sektor pariwisata dengan menggunakan standar-standar khusus dalam mengontrol perkembangan dan menerapkan aktivitas konservasi.
Mengonservasi sejumlah rumah yang memiliki nilai budaya dan arsitektur yang tinggi dan mengubah fungsi rumah tinggal menjadi sebuah museum desa untuk menghasilkan biaya untuk perawatan dari rumah tersebut. Contoh pendekatan dari tipe pengembangan model ini adalah Desa Wisata di Koanara, Flores. Desa wisata yang terletak di daerah wisata Gunung Kelimutu ini mempunyai aset wisata budaya berupa rumah-rumah tinggal yang memiliki arsitektur yang khas. Dalam rangka mengkonservasi dan mempertahankan rumah-rumah tersebut, penduduk desa menempuh cara memuseumkan rumah tinggal penduduk yang masih ditinggali. Untuk mewadahi kegiatan wisata di daerah tersebut dibangun juga sarana wisata untuk wisatawan yang akan mendaki Gunung Kelimutu dengan fasilitas berstandar resor minimum dan kegiatan budaya lain.
Mengonservasi keseluruhan desa dan menyediakan lahan baru untuk menampung perkembangan penduduk desa tersebut dan sekaligus mengembangkan lahan tersebut sebagai area pariwisata dengan fasilitas-fasilitas wisata. Contoh pendekatan pengembangan desa wisata jenis ini adalah Desa Wisata Sade, di Lombok.
Mengembangkan bentuk-bentuk akomodasi di dalam wilayah desa tersebut yang dioperasikan oleh penduduk desa tersebut sebagai industri skala kecil. Contoh dari bentuk pengembangan ini adalah Desa wisata Wolotopo di Flores. Aset wisata di daerah ini sangat beragam antara lain: kerajinan tenun ikat, tarian adat, rumah-rumah tradisional dan pemandangan ke arah laut. Wisata di daerah ini dikembangkan dengan membangun sebuah perkampungan skala kecil di dalam lingkungan Desa Wolotopo yang menghadap ke laut dengan atraksi-atraksi budaya yang unik. Fasilitas-fasilitas wisata ini dikelola sendiri oleh penduduk desa setempat. Fasilitas wisata berupa akomodasi bagi wisatawan, restaurant, kolam renang, peragaan tenun ikat, plaza, kebun dan dermaga perahu boat.

Prinsip Dasar dari Pengembangan Desa Wisata
Pengembangan fasilitas-fasilitas wisata dalam skala kecil beserta pelayanan di dalam atau dekat dengan desa. Fasilitas-fasilitas dan pelayanan tersebut dimiliki dan dikerjakan oleh penduduk desa, salah satu bisa bekerja sama atau individu yang memiliki. Pengembangan desa wisata didasarkan pada salah satu “sifat” budaya tradisional yang lekat pada suatu desa atau “sifat” atraksi yang dekat dengan alam dengan pengembangan desa sebagai pusat pelayanan bagi wisatawan yang mengunjungi kedua atraksi tersebut.

Jenis Wisatawan Pengunjung Desa Wisata
Karena bentuk wisata pedesaan yang khas maka diperlukan suatu segmen pasar tersendiri. Terdapat beberapa tipe wisatawan yang akan mengunjungi desa wisata ini yaitu:
Wisatawan domestik
Wisatawan domestik terdapat tiga jenis pengunjung domestik yaitu:
Wisatawan atau pengunjung rutin yang tinggal di daerah dekat desa tersebut. Motivasi kunjungan : mengunjungi kerabat, membeli hasil bumi atau barang-barang kerajinan. Pada perayaan tertentu, pengunjung tipe pertama ini akan memadati desa wisata tersebut.
Wisatawan dari luar daerah (luar propinsi atau luar kota), yang transit atau lewat dengan motivasi, membeli hasil kerajinan setempat.
Wisatawan domestik yang secara khusus mengadakan perjalanan wisata ke daerah tertentu, dengan motivasi mengunjungi daerah pedesaaan penghasil kerajinan secara pribadi.

Wisatawan manca negara
Wisatawan yang suka berpetualang dan berminat khusus pada kehidupan dan kebudayaan di pedesaan. Umumnya wisatawan ini tidak ingin bertemu dengan wisatawan lainnya dan berusaha mengunjungi kampung dimana tidak begitu banyak wisatawan asing.
Wisatawan yang pergi dalam grup (di dalam suatu biro perjalanan wisata). Pada umumnya mereka tidak tinggal lama di dalam kampung dan hanya tertarik pada hasil kerajinan setempat.
Wisatawan yang tertarik untuk mengunjungi dan hidup di dalam kampung dengan motivasi merasakan kehidupan di luar komunitas yang biasa dihadapinya.

Tipe Desa Wisata
Menurut pola, proses dan tipe pengelolanya desa atau kampung wisata di Indonesia sendiri, terbagi dalam dua bentuk yaitu tipe terstruktur dan tipe terbuka.

Tipe terstruktur (enclave)
Tipe terstruktur ditandai dengan karakter-karakter sebagai berikut:
Lahan terbatas yang dilengkapi dengan infrastruktur yang spesifik untuk kawasan tersebut. Tipe ini mempunyai kelebihan dalam citra yang ditumbuhkannya sehingga mampu menembus pasar internasional.
Lokasi pada umumnya terpisah dari masyarakat atau penduduk lokal, sehingga dampak negatif yang ditimbulkannya diharapkan terkontrol. Selain itu pencemaran sosial budaya yang ditimbulkan akan terdeteksi sejak dini.
Lahan tidak terlalu besar dan masih dalam tingkat kemampuan perencanaan yang integratif dan terkoordinir, sehingga diharapkan akan tampil menjadi semacam agen untuk mendapatkan dana-dana internasional sebagai unsur utama untuk “menangkap” servis-servis dari hotel-hotel berbintang lima.
Contoh dari kawasan atau perkampungan wisata jenis ini adalah kawasan Nusa Dua, Bali dan beberapa kawasan wisata di Lombok. Pedesaan tersebut diakui sebagai suatu pendekatan yang tidak saja berhasil secara nasional, melainkan juga pada tingkat internasional. Pemerintah Indonesia mengharapkan beberapa tempat di Indonesia yang tepat dapat dirancang dengan konsep yang serupa.

Tipe terbuka (spontaneus)
Tipe ini ditandai dengan karakter-karakter yaitu tumbuh menyatunya kawasan dengan struktur kehidupan, baik ruang maupun pola dengan masyarakat lokal. Distribusi pendapatan yang didapat dari wisatawan dapat langsung dinikmati oleh penduduk lokal, akan tetapi dampak negatifnya cepat menjalar menjadi satu ke dalam penduduk lokal, sehingga sulit dikendalikan. Contoh dari tipe perkampungan wisata jenis ini adalah kawasan Prawirotaman, Yogyakarta.

Faedah konsep desa wisata
Pengembangan konsep desa wisata dinilai sangat effektif dalam rangka mengenalkan serta bemberi peluang sebesar–besarnya kepada masyarakat pedesaan untuk memahami esensi dunia
pariwisata serta menikmati hasil dari kepariwisataan tersebut. Bagi daerah daerah yang memiliki karakteristik dan keunikan terutama di keseharian masyarakat desa maka pengembangan konsep ini sangat direkomendasikan. Ada tiga keuntungan yang utama dalam pengaplikasian konsep ini pada suatu daerah yaitu;
Pertama, dengan adanya desa wisata maka pengelola harus menggali dan mempertahankan nilai nilai adat budaya yang telah berlangsung selama  puluhan tahun di desa tersebut.  Lestarinya nilai nilai budaya merupakan daya tarik utama bagi wisatawan. Suatu desa tidak  akan menarik jika tidak memiliki  budaya, adat istiadat yang unik serta way of living yang eksotis.
Kedua, dengan konsep ini maka secara otomatis masyarakat desa yang notabene memiliki  kemampuan ekonomi yang kurang dapat berperan aktif dalam kelangsungan desa wisata. Dengan kata lain, timbul lahan – lahan pekerjaan baru serta pemberdayaan masyarakat desa akan semakin lebih intensif. Akhir dari konsep ini tentu saja agar peningkatan taraf hidup dan perekonomian masyarakat akan lebih termaksimalkan.
Ketiga, masyarakat desa dituntut untuk lebih bersahabat dengan alam sekitar. Lingkungan yang asri, pohon pohon yang rindang serta terawat adalah salah satu komponen daya tarik desa wisata.

Sunday, 24 October 2010

Dampak Pengembangan Pariwisata

Pariwisata merupakan bagian dari sektor industri di Indonesia yang prospeknya  cerah, dan mempunyai potensi serta peluang yang sangat besar untuk dikembangkan. Peluang tersebut didukung oleh kondisi-kondisi alamiah seperti: letak dan keadaan geografis (lautan dan daratan sekitar khatulistiwa), lapisan tanah yang subur dan panoramis (akibat ekologi geologis), serta berbagai flora dan fauna yang memperkaya isi daratan dan lautannya.
Bill Faulkner (1996): 5 aspek potensi pariwisata Indonesia:
  • Warisan budaya yang kaya
  • Bentang alam yang indah
  • Letak dekat pasar pertumbuhan Asia
  • Penduduk potensial (jumlah & mampu)
  • Tenaga kerja (jumlah dan murah)

Usaha pengelolaan pariwisata mempunyai pengaruh yang tidak dapat dihindari sebagai akibat datangnya wisatawan ke suatu wilayah tertentu yang mempunyai kondisi berbeda dari tempat asal wisatawan tersebut.
Menurut John M. Bryden (1973) dalam Abdurrachmat dan E. Maryani (1998:79) yang menyebutkan suatu penyelenggaraan kegiatan pariwisata dan obyek wisata dapat memberikan setidaknya ada 5 butir dampak positif, adapun dampak positif tersebut yaitu:
  • Penyumbang devisa negara
  • Menyebarkan pembangunan
  • Menciptakan lapangan kerja
  • Memacu pertumbuhan ekonomi melalui dampak penggandaan (multiplier effect)
  • Wawasan masyarakat tentang bangsa-bangsa di dunia semakin luas< Mendorong semakin meningkatnya pendidikan dan ketrampilan penduduk

Abdurrachmat dan E. Maryani (1998:80) menjelaskan pula dampak-dampak negatif yang timbul dari pariwisata secara ekonomi, yaitu :
  • Semakin ketatnya persaingan harga antar sektor
  • Harga lahan yang semakin tinggi
  • Mendorong timbulnya inflasi
  • Bahaya terhadap ketergantungan yang tinggi dari negara terhadap pariwisata
  • Meningkatnya kecenderungan impor
  • Menciptakan biaya-biaya yang banyak
  • Perubahan sistem nilai dalam moral, etika, kepercayaan, dan tata pergaulan dalam masyarakat, misalnya mengikis kehidupan bergotong royong, sopan santun dan lain-lain.
  • Memudahkan kegiatan mata-mata dan penyebaran obat terlarang
  • Dapat meningkatkan pencemaran lingkungan seperti sampah, vandalisme (corat-coret), rusaknya habitat flora dan fauna tertentu, polusi air, udara, tanah, dsb.

Menurut Chohen (1984), dampak pariwisata terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok yaitu :
  • Dampak terhadap penerimaan devisa.
  • Dampak terhadap pendapatan masyarakat.
  • Dampak terhadap kesempatan kerja.
  • Dampak terhadap harga-harga.
  • Dampak terhadap distribusi.
  • Dampak terhadap kepemilikan dan kontrol.
  • Dampak terhadap pada pembangunan pada umumnya.
  • Dampak terhadap pendapatan pemerintah.

Perkembangan pariwisata yang sangat pesat dan terkosentrasi dapat menimbulkan berbagai dampak. Secara umum dampak yang ditimbulkan adalah dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif dari pengembangan pariwisata meliputi; (1) memperluas lapangan kerja; (2) bertambahnya kesempatan berusaha; (3) meningkatkan pendapatan; (4) terpeliharanya kebudayaan setempat; (5) dikenalnya kebudayaan setempat oleh wisatawan. Sedangkan dampak negatifnya dari pariwisata tersebut akan menyebabkan; (1) terjadinya tekanan tambahan penduduk akibat pendatang baru dari luar daerah; (2) timbulnya komersialisasi; (3) berkembangnya pola hidup konsumtif; (4) terganggunya lingkungan; (5) semakin terbatasnya lahan pertanian; (6) pencernaan budaya; dan (7) terdesaknya masyarakat setempat (Spillane, 1989:47).

Dampak Pengembangan Pariwisata

Dampak Positif
  • Terbukanya lapangan kerja disektor pariwisata
  • Memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat yang turut serta memberikan pelayanan kepada para wisatawan yang memerlukan jasanya.
  • Pemerintah mendapat penghasilan berupa pajak penghasilan dan pajak perusahaan atau uang asing yang dibelanjakan oleh wisatawan mancanegara.
  • Mendorong pembangunan di daerah berupa perbaikan sarana dan prasarana dilingkungan daerah karena pemerintah mendapat income yang dapat digunakan untuk sarana dan prasarana yang kurang memadai.
  • Masyarakat menjadi lebih ingin mempelajari budaya serta adat istiadat agar bisa disajikan pada wisatawan dan dapat menjadikan obyek wisata itu menjadi lebih menarik karena atraksi budaya yang disuguhkan lebih variatif.
  • Masyarakat bisa menguasai beberapa bahasa asing agar bisa berkomunikasi dengan wisatawan asing guna menambah pengetahuan dan pengalaman. Tidak hanya itu, masyarakat juga dapat mengambil keuntungan agar wisatawan lebih akran dalam suasana kekeluargaan.
  • Berbagai sumber daya yang ada digunakan secara optimal sehingga dapat menumbuhkan rasa untuk mencintai potensi sumber daya kita sendiri.

Dampak Negatif
  • Dampak negatif terhadap lingkungan alam yang mencakup gejala alam yang ada di sekitarnya.
  • Dampak negatif terhadap lingkungan binaan yang mencakup perkotaan, sarana dan prasarana, ruang terbuka, dan unsur bentang kota.
  • Dampak negatif terhadap lingkungan budaya yang mencakup nilai-nilai, kepercayaan, perilaku, kebiasaan, moral, seni, hukum, dan sejarah masyarakat.